Di bagian awal salah satu kitabnya, Jala’ al-Khatir fi al-Bathin wa al-Dzahir, Syaikh Abdul Qadir al-Jailani menyitir ungkapan Ali bin Thalib ketika ditanya seseorang, “Apakah engkau melihat Tuhan yang engkau sembah?”
Ali menjawab, “Aku takkan menyembah apa yang tidak aku lihat.”
Itulah landasan yang kemudian dikembangkan oleh Syaikh Abdul Qadir al-Jailani sebagai pengertian “hamba Allah”, yakni seseorang yang berkat kedalaman iman dan kepatuhan amaliah syariatnya berdasar al-Qur’an dan sunnah oleh Allah Swt dikarunia kejernihan hati, batin, rohani.
Indikasi dari kejernihan hati ialah semakin “lepasnya wujud” dari dirinya. Semakin jernih derajatnya, semakin lepaslah ia dari wujudnya –segala wujud kedirian dan keduniawian.
mengerucutkan pengertian tersebut dalam ungkapan: “Bagi seorang hamba, tiada lagi hasrat dalam dirinya terhadap pilihan dari Tuannya, juga keinginan terhadap Tuannya.”
Beliau memperjelas makna ungkapan tersebut dengan sebuah kisah. Seseorang membeli seorang budak yang alim dan saleh agamanya. Kepadanya, tuan baru itu bertanya: “Kamu ingin makan apa?”
Budak tersebut menjawab, “Aku akan memakan apa pun yang engkau berikan kepadaku.”
Tuan itu kembali bertanya, “Kamu ingin memakai pakaian apa?”
Budak tersebut manjwab, “Aku akan mengenakan pakaian apa pun yang engkau berikan kepadaku.”
Tuan tersebut kembali bertanya, “Kamu ingin duduk di bagian mana dari rumahku ini?”
Budak tersebut kembali menjawab, “Aku akan duduk di bagian manapun yang engkau berikan kepadaku.”
Tuan itu kembali bertanya, “Kamu ingin sibuk dengan apa?”
Budka tersebut menjawab, “Aku akan sibuk dengan apa pun yang engkau perintahkan kepadaku.”
Begitulah ciri utama hamba yang sejati, serupa seyogianya begitu rupalah ciri utama dari seorang hamba kepada Tuhannya. Segala apa yang diperintahkanNya dijalankan, segala apa yang dilarangNya dijauhi, segala apa yang diberikanNya disyukuri, segala apa yang diputuskanNya dihadapi dengan lega hati, dan segala apa yang di-qadar-kanNya diterima dengan pikiran yang penuh husnuddan.
Tentu, buat kita, ini adalah perjalanan rohani seumur hidup. Ini sama sekali bukan hal mudah, bukan derajat yang enteng digapai seenteng mengucapkan atau menuliskannya.
Namun, sejatinya, mesti demikianlah kita memahami hubungan kehambaan kita dengan Allah Swt Sang Malik, kemudian memperjuangkannya seumur hidup dengan lelaku-lelaku kebaikan dan kesalehan yang bersendikan al-Qur’an dan sunnah Rasulullah Saw.
Mari kita ingat kembali indikasinya: “Semakin jernih hati kita, rohani kita, semakin lepaslah belenggu kebendawian-keduniawian dari wujud kita. Jika sebaliknya yang terjadi, itu pun indikasi bagi semakin kelam dan keruhnya rohani kita.” Baca Juga : Biografi Manaqib-abah-guru-sekumpul
Semoga kita terus-menerus ditolongNya dan dihidayahiNya untuk terus menjadi insan saleh yang semakin dekat kepadaNya, kepada RasulNya, yang digambarkan oleh Rasulullah Saw sebagai: “….hingga jaraknya (mukmin) dengan surga tinggal sedepa belaka….”
Penulis : Oleh Edi AH Iyubenu, wakil ketua LTN PWNU DIY.
👉RELATED POSTS : TUBUH KOSONG,
Comments
Post a Comment
BERIKAN KOMENTAR ANDA SEUAI TOPI DALAM RANGKA MEMBERIKAN MASUKAN KELEBIHAN DAN KEKURANGAN ARTIKEL ATAU KONTEN BERIKUT INI : ???