BIOGRAFI/MANAQIB ABAH GURU SEKUMPUL AL-'ALIMUL 'ALLAMAH KH. M. ZAINI BIN ABDUL GHANI

BIOGRAFI/MANAQIB ABAH GURU SEKUMPUL
AL-'ALIMUL 'ALLAMAH KH. M. ZAINI BIN ABDUL GHANI
Beliau adalah KH Muhammad Zaini Abdul  Ghani, seorang ulama besar yang sampai akhir hayat beliau masih  memberikan ilmu agama bagi masyarakat. Kharisma beliau yang luarbiasa  membuat masyarakat dari dalam dan luar negeri berbondong-bondong datang ketempat beliau di Komplek Sekumpul Martapura untuk mengikuti pengajian  Abah Guru Sekumpul

Guru Sekumpul dilahirkan pada malam Rabu 11 Februari 1942 (27 Muharram 1361 Hijriyah) di desa Dalam Pagar, Martapura Timur, Kabupaten Banjar dari pasangan suami-istri Abdul Ghani bin Abdul Manaf bin Muhammad Seman dengan Hj. Masliah binti H. Mulia bin Muhyiddin.
Muhammad Zaini Abdul Ghani merupakan anak pertama, sedangkan adiknya bernama Hj. Rahmah.
Muhammad Zaini memiliki 2 orang putra, yaitu Muhammad Amin Badali dan Ahmad Hafi Badali.

MASA KECIL:
Guru Sekumpul sewaktu kecil selalu berada di samping ayah dan neneknya yang bernama Salbiyah. Mereka menanamkan kedisiplinan dalam pendidikan tauhid dan akhlak serta belajar membaca Al-Qur'an. Karena itulah, guru pertama dari Guru Sekumpul adalah ayah dan neneknya sendiri. Semenjak kecil ia sudah digembleng orang tua untuk mengabdi kepada  ilmu pengetahuan dan ditanamkan perasaan cinta kasih dan hormat kepada  para ulama. Menururut riwayat, Guru Sekumpul sewaktu kecil sering menunggu al-Alim al-Fadhil Syaikh Zainal Ilmi yang ingin ke Banjarmasin hanya semata-mata untuk bersalaman dan mencium tangannya.

Pendidikan
Lingkungan keluarga
Gemblengan  ayah dan bimbingan intensif pamannya semenjak kecil betul-betul  tertanam. Semenjak kecil ia sudah menunjukkan sifat mulia; penyabar,  ridha, pemurah, dan kasih sayang terhadap siapa saja. Kasih sayang yang  ditanamkan dan juga ditunjukkan oleh ayahnya sendiri. Seperti misalnya,  suatu ketika hujan turun deras, sedangkan rumah Guru Sekumpul sekeluarga  sudah sangat tua dan reot. Sehingga air hujan merembes masuk dari  atap-atap rumah.Pada waktu itu, ayahnya menelungkupinya untuk melindungi tubuhnya dari hujan dan rela membiarkan dirinya sendiri tersiram hujan.

Abdul Ghani bin Abdul Manaf, ayah dari Guru Sekumpul juga  adalah seorang pemuda yang saleh dan sabar dalam menghadapi segala  situasi dan sangat kuat dengan menyembunyikan derita dan cobaan. Tidak  pernah mengeluh kepada siapapun. Cerita duka dan kesusahan sekaligus  juga merupakan intisari kesabaran, dorongan untuk terus berusaha yang  halal, menjaga hak orang lain, jangan mubazir, bahkan sistem memenej usaha dagang dia sampaikan kepada generasi sekarang lewat cerita-cerita  itu.
Beberapa cerita yang diriwayatkan adalah sewaktu kecil mereka  sekeluarga yang terdiri dari empat orang hanya makan satu nasi bungkus  dengan lauk satu biji telur, dibagi empat.Tak pernah satu kalipun di  antara mereka yang mengeluh. Pada masa-masa itu juga, ayahnya membuka  kedai minuman. Setiap kali ada sisa teh, ayahnya selalu meminta izin kepada pembeli untuk diberikan kepada Qusyairi. Sehingga kemudian  sisa-sisa minuman itu dikumpulkan dan diberikan untuk keluarga.

Adapun sistem mengatur usaha dagang, ayah Guru Sekumpul menyampaikan  bahwa setiap keuntungan dagang itu mereka bagi menjadi tiga. Sepertiga  untuk menghidupi kebutuhan keluarga, sepertiga untuk menambah modal  usaha, dan sepertiga untuk disumbangkan. Salah seorang ustadz setempat  pernah mengomentari hal ini, “bagaimana tidak berkah hidupnya kalau  seperti itu.” Pernah sewaktu kecil Qusyairi bermain-main dengan membuat  sendiri mainan dari gadang pisang. Kemudian sang ayah keluar rumah dan  melihatnya. Dengan ramah sang ayah menegurnya, “Nak, sayangnya mainanmu  itu. Padahal bisa dibuat sayur.” Qusyairi langsung berhenti dan  menyerahkannya kepada sang ayah.

Madrasah Darussalam
Pada tahun 1949 saat berusia 7 tahun, ia mengikuti pendidikan formal di Madrasah Ibtidaiyah Darussalam, Martapura.
Kemudian tahun 1955 pada usia 13 tahun, ia melanjutkan pendidikan di Madrasah Tsanawiyah Darussalam, Martapura.
Pada masa ini ia sudah belajar dengan guru-guru besar yang spesialis dalam bidang keilmuan seperti :

al-Alim al-Fadhil Sya’rani Arif
al-Alim al-Fadhil Husain Qadri
al-Alim al-Fadhil Salim Ma’ruf
al-Alim al-Allamah Syaikh Seman Mulia
al-Alim Syaikh Salman Jalil
al-Alim al-Fadhil al-Hafizh Syaikh Nashrun Thahir
KH. Aini Kandangan.

Tiga yang terakhir merupakan gurunya yang secara khusus untuk pendalaman Ilmu Tajwid.
Syaikh Seman Mulia
Syaikh Seman Mulia  adalah pamannya yang secara intensif mendidiknya baik ketika berada di  sekolah maupun di luar sekolah. Dan ketika mendidik Guru Sekumpul, Guru Seman hampir tidak pernah mengajarkan langsung bidang-bidang keilmuan  itu kepadanya kecuali di sekolahan. Tetapi, Guru Seman langsung mengajak  dan mengantarkan dia mendatangi tokoh-tokoh yang terkenal dengan  sepesialisasinya masing-masing baik di daerah Kal-Sel (Kalimantan)  maupun di Jawa untuk belajar. Seperti misalnya ketika ingin mendalami Hadits dan Tafsir, guru Seman mengajak (mengantarkan) Guru Sekumpul kepada al-Alim al-Allamah Syaikh Anang Sya’rani yang terkenal sebagai muhaddits  dan ahli tafsir. Menurut Guru Sekumpul sendiri, di kemudian hari  ternyata Guru Tuha Seman Mulia adalah pakar di semua bidang keilmuan  Islam itu. Tapi karena kerendahan hati dan tawadhu tidak menampakkannya  ke depan khalayak.

Semenjak kecil, pergaulannya betul-betul dijaga. Kemana pun bepergian  selalu ditemani. Pernah suatu ketika Qusyairi ingin bermain-main ke  pasar seperti layaknya anak sebayanya semasa kecil. Saat memasuki  gerbang pasar, tiba-tiba muncul pamannya, Syaikh Seman Mulia  di hadapannya dan memerintahkan untuk pulang. Orang-orang tidak ada  yang melihat Syekh, begitu juga sepupu yang menjadi ”bodyguard”-nya. Dia  pun langsung pulang ke rumah.

Syekh Salman Jalil
Sedangkan al-Alim al-Allamah Salman Jalil  adalah pakar ilmu falak dan ilmu faraidh. (Pada masa itu, hanya ada dua  orang pakar ilmu falak yang diakui ketinggian dan kedalamannya yaitu  dia dan almarhum K.H. Hanafiah Gobet). Selain itu, Salman Jalil juga adalah Qhadi Qudhat Kalimantan dan salah seorang tokoh pendiri IAIN Antasari Banjarmasin.  Salman Jalil ini pada masa tuanya kembali berguru kepada Guru Sekumpul  sendiri. Peristiwa ini yang ia contohkan kepada generasi sekarang agar  jangan sombong, dan lihatlah betapa seorang guru yang alim besar tidak  pernah sombong di hadapan kebesaran ilmu pengetahuan, meski yang  sekarang sedang menyampaikannya adalah muridnya sendiri.


Guru khusus
Selain itu, di antara guru-guru Guru Sekumpul lagi selanjutnya :

Syekh Syarwani Abdan Bangil
al-Alim al-Allamah al-Syaikh al-Sayyid Muhammad Amin Kutbi
Kedua tokoh ini biasa disebut Guru Khusus dia, atau meminjam perkataan dia sendiri adalah Guru Suluk (Tarbiyah al-Shufiyah).

Dari beberapa guru dia lagi adalah :
Kyai Falak (Bogor)
Syaikh Yasin bin Isa Padang (Makkah)
Syaikh Hasan Masyath
Syaikh Ismail al-Yamani
Syaikh Abdul Kadir al-Bar

Kelebihan
Hafal Al-Qur'an dan Tafsir Jalalain
Beberapa Catatan lain berupa beberapa kelebihan dan keanehan Qusyairi adalah dia sudah hafal Al-Qur'an semenjak berusia 7 tahun. Kemudian hapal tafsir Jalalain pada usia 9 tahun.

Kasyaf Hissi
Dalam usia kurang lebih 10 tahun, sudah mendapat khususiah dan anugerah dari Tuhan berupa Kasyaf Hissi yaitu melihat dan mendengar apa yang ada di dalam atau yang terdinding.

Dalam usia itu pula Qusyairi pernah didatangi oleh seseorang bekas  pemberontak yang sangat ditakuti masyarakat akan kejahatan dan  kekejamannya. Kedatangan orang tersebut tentunya sangat mengejutkan  keluarga di rumah dia. Namun apa yang terjadi, laki-laki tersebut  ternyata ketika melihat Qusyairi langsung sungkem dan minta ampun serta memohon minta dikontrol atau diperiksakan ilmunya yang selama itu ia  amalkan, jika salah atau sesat minta dibetulkan dan dia pun minta agar  ditobatkan.

Sapinah al-Auliya
Pada  usia 9 tahun pas malam jumat Qusyairi bermimpi melihat sebuah kapal  besar turun dari langit. Di depan pintu kapal berdiri seorang penjaga  dengan jubah putih dan di gaun pintu masuk kapal tertulis “Sapinah  al-Auliya”. Qusyairi ingin masuk, tetapi dihalau oleh penjaga hingga  tersungkur. Dia pun terbangun. Pada malam jum’at berikutnya, ia kembali bermimpi hal serupa. Dan pada malam jumat ketiga, ia kembali bermimpi  serupa. Tapi kali ini ia dipersilahkan masuk dan disambut oleh salah  seorang syekh. Ketika sudah masuk ia melihat masih banyak kursi yang  kosong.
Ketika Qusyairi merantau ke tanah Jawa untuk mencari ilmu, tak  disangka tak dikira orang yang pertama kali menyambutnya dan menjadi  guru adalah orang yang menyambutnya dalam mimpi tersebut.


ULAMA diciptakan untuk waktu dan tempat yang tepat. Begitulah ungkapan  yang kerap muncul untuk mendefinisikan peran ulama di Martapura,  Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan. Di Bumi Barakat ini, ulama  memegang posisi penting untuk membina dan menuntun umatnya. Deretan nama  ulama besar menghiasi lembaran sejarah sesuai situasi dan waktu yang  berkembang.Sebagai gudangnya aulia, tradisi keulamaan di Martapura tetap  lestari kendati berpacu dengan maraknya era globalisasi. Ia seakan  tidak lapuk oleh hujan dan tak lekang lantaran panas. Kebesaran sang  ulama terkenal karena kealiman, kezuhudan, kewibawaan dan ketokohannya  dalam bidang dakwah dan syiar Islam.Sebutlah nama Maulana Syekh Muhammad  Arsyad bin Abdullah Al Banjari, yang makamnya di Desa Kelampayan,  Kecamatan Astambul, diziarahi ribuan orang setiap hari. Ada pula nama KH  Muhammad Samman Mulia (Guru Padang), KH Muhammad Syarwani Abdan (Guru  Bangil), KH Abdurrahman Siddiq (Indragiri, Tembilahan, Riau), KH Kasyful Anwar Ismail, KH Anang Sya’rani Arif, Tuan Guru KH Zainal Ilmi, KH  Muhammad Husin Qodri, KH Asnawi Syihabuddin, KH Muhammad Salman Jalil,  KH Badruddin, KH Muhammad Ramli, KH Muhdar, KH Muhammad Rosyad, dan  seterusnya yang walau sudah almarhum tapi namanya tetap harum dan  melegenda. Ini belum lagi deretan tokoh ulama besar sejak dulu, yang  turut menghiasi dokumen historis Martapura.

Kini, fenomena dan keberadaan ulama berbeda relatif jauh dari kehidupan  ulama tempo dulu. Demikian pula karakteristik masyarakatnya yang terus  mengalami pergeseran sepanjang waktu. Cuma satu yang mungkin tidak  banyak berubah, ketaatan dan kecintaan mereka pada para aulia. Apalagi,  jika ulama itu sudah menjadi idola di masyarakat.Dalam kondisi kekinian,  citra Martapura masyhur hingga menembus batas regional dengan sosok sang legenda: KH Muhammad Zaini Abdul Ghani. Ulama yang populer disapa Guru Sekumpul itu bisa diibaratkan sebagai maestro Bumi Serambi Mekkah  Martapura. Setiap digelar pengajian di Kompleks Ar Raudhah, Sekumpul,  ribuan jamaah hadir dari pelbagai pelosok.Beliau dikenal sebagai tokoh  yang kerap dikunjungi pejabat dan orang penting negeri ini. Bila ada  pejabat tinggi di Kalimantan, wabilkhusus Kalsel, yang baru terpilih  atau dilantik, hampir dipastikan akan bersilaturrahim ke Sekumpul. Mulai  dari komandan kodim (dandim), kapolres, bupati, gubernur, komandan  korem (danrem), panglima daerah militer (pangdam), hingga presiden dan  wakil presiden, datang ke Martapura hanya untuk bertemu Guru  Sekumpul.Secara geografis, Sekumpul berlokasi di Kelurahan Jawa,  Kecamatan Martapura. (sekarang Sekumpul menjadi kelurahan tersendiri)  Dari pertigaan Jalan Ahmad Yani Km 38 samping Masjid Syi’aarush  Shaalihiin, masuk sekitar 800 meter, lantas belok kanan, di sanalah  Mushalla Ar Raudhah berdiri megah.Berbentuk kotak-kotak paduan semen dan  keramik kombinasi hitam, putih, hijau dan biru, menjadikan kubah serta menara mushalla ini sebagai model bangunan pertama di Kalsel. Sepintas,  menara dan kubah mushalla mirip masjid terbesar di Jawa Timur, Masjid  Agung Al Akbar, Surabaya.Di samping mushalla, terdapat kediaman Guru  Sekumpul yang diapit dua rumah berarsitektur sejenis yang ditempati ibu,  saudara dan keponakan. Belakangan, rumah di samping kiri Guru  direnovasi total.Pada Agustus 2004, rampunglah rumah megah berlantai dua bergaya Spanyol dengan aksen Mediterania. Sungguh membuat kagum dan  nyaman mata memandang. Rumah itu kini menjadi kediaman dua putera Guru,  Muhammad Amin Badali dan Ahmad Hafi Badali.Angka 17 menjadi hitungan  tersendiri dalam Kompleks Ar Raudhah atau biasa disebut dalam regol. Di  samping mushalla berderet tujuh rumah dan di seberangnya juga tujuh unit  rumah. Ditambah rumah Guru Sekumpul dan dua yang mengapit, jumlahnya  klop dengan angka keramat: 17. Menariknya, rumah itu memiliki ciri khas  yang relatif tidak berubah sampai detik ini; beratap genteng hijau tua  dan teras ukuran persegi panjang dengan atap cor beton bercat putih. Di  sekeliling kompleks mushalla, nyaris tidak ada lahan kosong. Ratusan  rumah menyemut hingga menjadikan Kompleks Sekumpul perkampungan  perkotaan yang elit, mewah namun memancarkan kedamaian.Ini sangat  berbeda jauh dengan kondisi pada tahun 1980-an. Kawasan itu ibarat hutan  belantara yang penuh semak belukar pohon karamunting. Hanya satu-dua rumah yang tampak. Barangkali tidak seorang pun menyangka kondisi itu  berubah 180 derajat.Sekitar tahun 1987, di sekitar kawasan tersebut,  hanya ada satu-dua rumah yangberdiri. Sedang sisanya cuma hutan  belantara dan lahan melompong bertebaran tanah merah. “Tak lama lagi, di  sana akan dibangun kompleks Guru Izai,” kata H Muhammad Jazuli Halidi,  warga setempat, kala itu sambil menunjuk hamparan lahan kosong.Pada  dekade 1980-an, pengajian masih digelar di Mushalla Darul Aman, Jalan Sasaran, Kelurahan Keraton, Martapura. Baru pada awal 1989, pengajian  pindah ke lokasi baru sekaligus menandai era baru dunia syiar Islam di  Martapura.Perubahan terjadi dalam penyebutan kawasan itu.

Semula,  sekitar hutan karamunting masyhur dengan sebutan Sungai Kacang. Ketika  pengajian hijrah, KH Muhammad Zaini Abdul Ghani mempopulerkan nama baru :  Sekumpul, memang, sejak pertengahan 1970-an, kawasan itu sebagian ada  yang menamakan Sekumpul. Namun, panggilan tersebut tidak populer dan  banyak orang yang justru tidak kenal serta masih menyebutnya Sungai  Kacang. Lebih dari itu, hingga 1980-an, di ujung jalan yang bermuara di  Jalan A Yani, terpampang plang nama Jalan Sungai Kacang. Ketika Guru  pindah, terminologi Sekumpul mulai dikenal orang. Perubahan nama juga  menjadi awal dari pergantian sapaan akrab ulama kelahiran 11 Februari  1942/27 Muharram1361 H ini. Di tempat lama, panggilan sang kiai  cenderung beragam. Ada yang menyapa Guru Zaini, Guru Izai, hingga Guru  Keraton. Ketika hijrah ke Sungai Kacang itulah dia populer dengan nama  baru: Guru Sekumpul.Cuma, tak semua warga memberi sapaan senada. Ada  yang masih memanggil dengan sebutan lama. Tapi, bagi sebagian warga  Martapura, terutama warga asli, sapaan Guru Izai terasa agak “kasar”.  Karenanya, mereka relatif memakai sapaan Guru Sekumpul atau Abah Guru.  Konon, tinggallah kini warga bukan asli Martapura yang masih menggunakan sapaan semisal Guru Izai.Penyebutan nama Guru Sekumpul ikut menghiasi pemberitaan koran lokal. Sebelumnya, jika tema Sekumpul dimuat di koran,  nama yang ditulis pasti Guru Izai atau Guru Zaini. Tapi, sejak akhir  1999, ketika memuat berita di Kalimantan Post, saya selalu menulis  sebutan Guru Sekumpul. Alhasil, sejak saat itu setiap pemberitaan di  Kalimantan Post, selalu ditulis sebutan Guru Sekumpul. Tidak lagi Guru  Zaini apalagi Guru Izai. Koran lain pun sebagian besar mulai menulis  sapaan itu. Ini semua demi penghormatan, meski Guru sendiri tidak  mempersoalkan. Setidaknya, Kalimantan Post ikut andil mempopulerkan penulisan nama baru tadi dan berupaya menyamakan penyeragaman sebutan  untuk pemberitaan media massa lokal lainnya.Perkembangan kawasan  Sekumpul juga diiringi meroketnya harga tanah. Dahulu, harga per meter  persegi hanya berkisar puluhan ribu rupiah. Tapi sekarang, puluhan juta  per meter, itu pun lahannya nyaris tidak ada lagi. Harga tertinggi  dipegang lahan sekitar Kompleks Ar Raudhah, dekat kediaman Guru. Banyak orang kaya mendadak dari bisnis jual beli tanah di sekitar  Sekumpul.Lahan kosong yang semula untuk tempat parkir di sekitar  Kompleks, banyak yang berganti hutan beton. Kalau terus dibiarkan dan  ditata seadanya, tidak mustahil rimbunnya hutan karamunting hanya tinggal kenangan. Rimbunnya belantara beton setidaknya turut menguatkan  argumen bahwa Sekumpul mencatat inflasi tertinggi di Kabupaten  Banjar.Populernya nama Sekumpul membawa berkah pula bagi pencari merek  dagang. Tak heran banyak warung, toko, restoran atau kedai kaki lima  bernama Sekumpul. Bahkan, PT Mandrapurna Aditama, menjadikan Sekumpul  sebagai merek dagang untuk produk air mineral dalam kemasan. 

Konon,  kejayaan air merek Sekumpul berhasil mengalahkan pesaingnya, semisal  Aqua, Club ataupun Prof, setidaknya untuk kawasan Martapura dan  sekitarnya.Banyak pula yang salah kira dan menganggap air mineral tadi  sebagai air “berkah” dari Sekumpul. Padahal, ia cuma sekadar merek  dagang yang menggandol kemasyhuran Sekumpul. Tapi, produsen air ini tak  cuma ikut nebeng. Sang pemilik, H. Ismail, warga Madura pindahan dari Kalimantan Tengah, kerap membagikan air dalam bentuk botol atau gelas  plastik secara gratis kepada ribuan jamaah dalam acara khusus, semisal  haulan. Hubungan saling menguntungkan berlaku untuk bisnis ini.Soal air  mineral bisa menjadi cerita tersendiri jika dikaitkan fenomena kecintaan  jamaah terhadap Guru. Pada pengajian atau kegiatan peribadatan semisal  pembacaan Maulid Al Habsyi, Dalaailul Khairaat dan Shalawat Burdah,  banyak jamaah membawa air putih dalam botol dan membuka tutupnya. Konon, ini dipercaya sebagai sarana untuk “mentransfer” berkah. Benarkah? Ini  kembali kepada keyakinan masing-masing. Tidak ada paksaan untuk semua  itu.Maka, berderetlah botol-botol air di sekitar pagar, tembok atau  kusen jendela mushalla ketika acara berlangsung. Meski bertumpuk, belum  terdengar ada yang airnya tertukar ketika mau diambil. Sebagian lagi  banyak yang meletakkan botol di dekat sajadah masing-masing. Setidaknya  ini untuk minta berkah sekaligus bisa diminum jika haus. Tapi, justru  karena cara ini, tidak sedikit yang airnya malah habis seiring  berakhirnya peribadatan. Padahal, banyak jamaah yang percaya air itu  berkhasiat dan karenanya perlu dibawa pulang.Keunikan lain Sekumpul adalah faktor karisma sang ulama. Satu yang perlu dicatat adalah soal  foto Guru. Cobalah Anda lihat, mayoritas rumah di Martapura memajang  foto Guru dalam berbagai pose dan beraneka ukuran. Tak cuma di rumah,  potret itu menempel di dinding kantor, masjid, mushalla, sekolah, toko,  warung dan restoran. Jika di tempat lain lumrah dipajang foto presiden  dan wakil presiden, di sini figur ulama yang lebih diidolakan.Ukuran  foto akan lebih diperbesar atau malah diletakkan di ruang tamu rumah  (orang Banjar menyebutnya tawing halat) jika foto menampilkan Guru  bersama si empunya. Ada cerita menarik, seorang tetangga memajang foto  dirinya bersama Guru. Tapi lihatlah foto itu: si empunya tampak  berdesakan mendekat Guru dan kamera menangkap pemandangan demikian. Meski tidak berpotret bersama secara khusus, toh dia bangga luar biasa  dengan memamerkan fotonya.Cerita lain, seorang bapak di kawasan Jalan Menteri Empat, Martapura, menggunting foto dirinya lalu ditempelkan di  samping foto Guru. Setelah direkayasa sana-sini, dipajanglah foto itu  seolah-olah yang bersangkutan duduk di sisi Guru. Ada-ada saja.Fenomena  memajang foto tidak hanya di Martapura dan kota tetangga, tapi menembus  batas daerah. Di luar Kalsel seperti Balikpapan, Samarinda, Tenggarong, Palangka Raya, bahkan luar Kalimantan, banyak rumah dihiasi foto sang  ulama. Sebuah rumah mewah berlantai dua di Jalan Pisang Kipas Nomor 3,  kawasan Jalan Soekarno Hatta, Malang, Jawa Timur, memajang foto Guru di  ruang tamu dan ruang tengah. Lantas, rumah toko Wisma Banjar (yang jadi  warung dan penginapan), Jalan Nyamplungan, Surabaya, juga menempelkan  foto Guru ukuran besar. Hal ini menjadi pertanda si pemilik rumah adalah  warga asal Kalsel.Soal isyarat tentang foto ini pernah saya alami. September 2002, saya nyaris tersesat mencari famili di Samarinda. Alamat  sudah ketemu, tapi lokasinya tidak tahu pasti dan sarana telekomunikasi  belum ada. Sambil berjalan saya mencuri pandang ke dalam rumah yang  dilewati. Pada sebuah bangunan, tampak foto Guru Sekumpul terpampang di  dalamnya. Inilah rumah yang dicari, dan ternyata benar. Foto Guru  rupanya sudah menjadi identitas dan ciri khas.Kalaulah kemudian ada  warga Martapura yang rumahnya tidak memampangkan foto sang kiai, juga  tidak apa-apa. Yang menarik, pernah ada pendapat lumayan ekstrem.  Katanya, bila ada rumah yang tidak punya foto Guru Sekumpul, pemiliknya  pasti bukan murid Guru dan tidak beraliran ahlussunnah waljama’ah.  Mereka ini juga dianggap orang “modern” dan bukan termasuk “kaum tua”  (istilah lain untuk komunitas Nahdlatul ulama) Benarkah? Wallaahu A’lam.Pendapat ini setidaknya ada benarnya. Dalam sebuah kitab  diceritakan, kecintaan murid direfleksikan dengan memandang wajah atau  diasumsikan foto gurunya. Ia bisa menjadi sugesti agar si murid bisa  seperti sang aulia. Argumen ini bisa diterima jika kita melihat tradisi  masyarakat di luar Kalsel. Banyak rumah di pulau Jawa memajang foto atau lukisan ulama semacam Wali Songo atawa KH Abdullah Gymnastiar (Aa  Gym).Karena itu, sangatlah tidak relevan jika soal memajang foto ulama  menjadi polemik. Biarkan orang pada keyakinannya. Mengapa ketika foto  kiai dipajang justru ribut, tapi foto artis dipajang besar-besar malah  diam saja.Ikhwal pajang-memajang foto Guru juga dilakukan warga luar  daerah. Sebagai contoh, artis Chrisye memajang fotonya bersama Guru  Sekumpul di atas lemari kecil dekat ruang tamu. Ketika penyanyi yang  jadi anak angkat Guru ini diwawancarai wartawan Cek dan Ricek, kamera  sempat menyorot foto tersebut. Dari layar RCTI terlihat Chrisye sedang  wawancara berlatar belakang potretnya bersama Guru.Ketua Umum PBNU, KH  Ahmad Hasyim Muzadi juga segendang-sepenarian. Pada Mei 2004, rumahnya  di Jakarta didatangi Ketua Umum Partai Golkar Akbar Tandjung bersama pengurus teras partai beringin lainnya untuk meminta kesediaan Hasyim  menjadi calon wakil presiden dari Golkar. Kunjungan itu mendapat liputan  luas dan disorot puluhan kamera wartawan.Di atas bufet dalam ruang  tamu, tepat di belakang sofa Hasyim, terpampang foto dirinya bersama  Guru dalam figura berpenyangga. Tak pelak, kamera secara tersirat  menyorot foto tersebut ketika meng-close up Hasyim. Pemandangan ini disaksikan terang-benderang oleh jutaan mata pemirsa di Tanah Air.Jamaah  yang datang ke Sekumpul memang ribuan, dengan beraneka ragam jabatan,  profesi dan strata sosial.Menurut sejumlah wartawan yang sudah  berkeliling Indonesia, pengajian Sekumpul merupakan majelis taklim  terbesar di Indonesia dalam jumlah jamaah yang hadir.Pada Ahad pagi, 25  Juli 2004 saya bertandang ke Majelis Taklim Habib Abdurrahman Al Habsyi di Kwitang, kawasan Senen, Jakarta Pusat. Konon, inilah majelis taklim  terbesar di Jakarta.Ternyata, meski berdesakan, jumlah umat yang hadir  biasa saja. Apalagi, kala itu jamaah wanita dan pria bercampur-aduk.  Menariknya, persis di depan mimbar pengajian yang merupakan halaman  Masjid Ar Riyadh, terdapat kantor DPW Partai Amanat Nasional DKI Jakarta.Sekarang, lihatlah di Sekumpul. Ribuan umat menyemut tiap  digelar pengajian. Rumah-rumah di sekitar Kompleks Sekumpul dibuka untuk  menampung jamaah yang tidak kebagian tempat. Bandingkan di tempat lain;  rumah di sekitar majelis banyak yang ditutup rapat dan pemiliknya  seolah tidak terlalu peduli.Ribuan jamaah dari pelbagai penjuru membanjiri Sekumpul jika diadakan acara semacam haul Syekh Samman Al  Madani atau malam peribadatan Nishfu Sya’ban. Untuk acara terakhir ini,  Sekumpul merupakan titik berkumpulnya ratusan ribu jamaah. Tidak sedikit  yang sengaja menginap di rumah-rumah di sekitar Sekumpul agar dapat  tempat. Saking penuh sesaknya jamaah yang hadir pada tiap 15 Sya’ban itu, lahan kosong di dekat kolong rumah dijadikan tempat shalat.Popularitas Sekumpul bergaung hingga ke delapan penjuru mata  angin. Para ulama, kiai, dan habib dari pulau Jawa serta habib dari  Hadramaut, Yaman, banyak yang bertandang. Sebuah tempat lumayan mewah  disiapkan untuk menampung tamu tertentu. Bangunan bertingkat itu terletak di samping Mushalla ArRaudhah, dan di bawahnyamerupakan tempat wudhu.Tidak sedikit warga luar Kalimantan mengira Sekumpul adalah  sebuah pesantren. Seorang warga Pasuruan, Jawa Timur, sempat kaget ketika diberitahu bahwa Sekumpul adalah majelis taklim. Kata dia, warga  di tempatnya mengira Kiai Zaini (demikian ia menyebut) adalah pemimpin  pesantren, seperti yang lumrah di Jawa.Sejumlah warga Jogjakarta juga  heran majelis taklim Sekumpul dihadiri ribuan orang. Kata dia, di Jawa  acara keagamaan kerap dihadiri ribuan umat, tapi itu kegiatan insidental macam doa bersama atau istigotsah. Sedang di Sekumpul, ribuan jamaah  rutin datang untuk mengaji dan beribadah, tanpa tahu istilah istigotsah  dan lainnya.Perkiraan bahwa Sekumpul adalah pesantren barangkali sudah  berkurang dengan kerap terangkatnya majelis taklim ini lewat publikasi  media massa. Sejumlah media nasional beberapa kali menyiarkan tentang Sekumpul, terutama ketika mereka meliput pejabat setingkat presiden atau  wapres yang bertandang ke Sekumpul.Sekadar mengingatkan, wartawan RCTI  yang tewas ditembak GAM di Aceh, Sori Ersa Siregar, adalah jurnalis  televisi pertama yang meliput danmenyiarkan tentang ribuan jamaah pengajian Sekumpul. Bersama seorang kameramen, suatu malam di tahun  1995, ia berada di Sekumpul meliput suasana majelis taklim. “Ersa Siregar, RCTI, melaporkan dari Sekumpul, Martapura, Kalimantan Selatan,” kata almarhum di depan Mushalla Ar Raudhah, mengakhiri liputannya pada  pemirsa kala itu. Kutipan dari buku "Bertamu Ke Sekumpul"Oleh : H. Ahmad Rosyady Chalidy, S.Sos. Baca Juga : Notes-suka-duka-customer-service

Related Posts



Bagaimana Reaksi Anda Tentang Artikel Ini?

Comments

Kirim E-mail Anda Dapatkan Artikel Berlangganan Gratis....

ENTER YOUR EMAIL ADDRESS :

DELIVERED BY : SUARA MANIA POST ||| 🔔siulanmania@gmail.com

👍 POPULER POST

CARA UNTUK BERSYUKUR ATAS NIKMAT YANG DIKARUNIAKAN ALLAH SWT

HARI KESEHATAN MENTAL SEDUNIA, INI TEMA TAHUN INI DAN SEJARAHNYA

TAK LAGI MAYORITAS

NERAKA MENURUT SYAIKH SITI JENAR

MAN CITY VS NORWICH, AGREGAT 14 -1 TEGASKAN REKOR MENTERENG THE CITIZENS

🚀LINK TAUTAN ARTIKEL SPONSOR

FOLLOWERS