SYAIKH BURHANUDDIN SUFI TELADAN ORANG TUA MINANG

Syaikh Burhanuddin, Doa Guru Bagi Sang Sufi Teladan Orang Tua Minang.
Jasanya besar dalam perkembangan Islam di Sumatra Barat. Ia Panutan Para Ulama Minangkabau.

Setiap tanggal 10 Shafar, apalagi jika bertepatan dengan hari Rabu terakhir bulan itu, hari yang dipercaya sebagian umat Islam sebagai hari turunnya bala atau bencana, masyarakat Minangkabau terutama di kampung Ulakan, selalu melakukan ziarah. Disebut Basafa (bershafar), sebuah tradisi yang berlaku turun temurun. Menurut sejarawan asal Minang, Prof. Dr. Sidi Ghazalba, ziarah itu dilakukan untuk menghormati Syaikh Burhanuddin di kampung Ulakan yang kemudian terkenal dengan sebutan Syaikh Burhanuddin Ulakan.

Ia adalah seorang ulama yang pertama kali mengembangkan Tarekat Syatariyah di Sumatera Barat, dalam tarekat ini tersimpul gejala kuat mengangungkan Ali dan Ahlul Bait, khususnya tarekat yang bertalian historis dengan latar belakang tradisi keagamaan dan budaya Persia.

Syaikh Burhanuddi Ulakan lahir di Sintuk, Pariaman, Sumatera Barat pada tahun 1646 H / 1066 M. Menurut Tuan Guru Haji Harun At-Thubuhi al-Faryamani (dari Pariaman) dan KH. Syirajuddin Abbas, seorang tokoh Perti (persatuan Tarbiyah Islamiyah), Syaikh Burhanuddin berasal dari suku Guci, salah satu suku di pedalaman sebelum islam berkembang di Sumatera Barat. Masa kecilnya sangat sengsara sehingga ia tidak bisa sekolah. Itu sebabnya sampai usia remaja tidak sempat mendapat pendidikan yang layak.

Nama asli Burhanuddin (sebelum menjadi Muslim) adalah Pono, ayahnya bernama Pampak, ketika itu masih beragama Budha. Masa kanak-kanaknya ia lalui dengan berjualan di pasar Batang Bengkawas, membantu orang tuanya mencari nafkah. Sebelum tinggal di Ulakan, keluarganya sering berpindah-pindah tempat untuk berjualan makanan. Belakangan ia hijrah ke Aceh, dan menjadi murid Syaikh Abdurrauf as-Sinkili. Mula-mula Pono kecil tidak bermaksud berguru, tapi sekedar ingin mencari pekerjaan untuk sesuap nasi. Tapi dalam pandangan batin Syaikh Abdurrauf, Pono punya potensi untuk menjadi Ulama besar yang bakal menggantikannya.

Menguras Kakus
Dengan tekun, Pono mengaji ilmu-ilmu Keislaman kepada Syaikh Abdurrauf selama tiga belas tahun. Ia sangat taat dan patuh kepada sang guru. Suatu hari ketika Syaikh Abdurrauf  mengunyah sirih, mendadak tempat sirihnya terlepas dan jatuh ke dalam kakus yang sangat dalam. “Siapa diantara kalian yang sudi membersihkan kakus ini sebersih-bersihnya sambil mengambil tempat sirih yang jatuh?” tanya Syaikh Abdurrauf kepada para santrinya. Banyak santri yang enggan, tapi dengan cekatan Pono tampil menguras dan membersihkan kakus itu selama berjam-jam.

Tak lama kemudian ia lalu menemukan tempat sirih gurunya, setelah dibersihkan, ia serahkan tempat sirih itu kepada Syaikh Abdurrauf. Guru yang juga sufi besar itu lantas berkata sambil berdoa, “Tanganmu ini nanti akan selalu dicium tak putus-putus oleh para Raja, para penghulu, orang-orang besar dan murid-muridmu sampai akhir zaman, sementara ilmumu akan memberkati dunia, maka mulai sekarang aku namai kamu Saidi Syaikh Burhanuddin.”

Setelah merasa cukup menuntut ilmu, Buhanuddin minta izin pulang kampung. Maka berkatalah sang guru, “Pulanglah kamu ke negerimu, ajarkanlah ilmu yang ditakdirkan Allah kamu miliki. Kalau kamu tetap memiliki kasih sayang, rasa takut, malu, dan patuh kepada Allah, niscaya kamu akan mendapat hikmah kebatinan.”

Sejak itulah Syaikh Burhanuddin menjadi Mursyid di kalangan para penganut tarekat Syatariyah. Dalam bukunya yang berjudul: Ayahku, Prof. Dr. Hamka menulis, Syaikh Burhanuddin pulang kampung pada tahun 1100 H atau 1680 M dengan berjalan kaki, padahal jaraknya ratusan kilometer, di desa Tiku, Kabupaten Agam sekarang, ia mempersunting seorang gadis, dan tak lama kemudian meneruskan perjalanan ke kampung halamannya, Ulakan, untuk berdakwah.

Tarekat Syathariyah adalah ajaran Syaikh Abdullah as-Syathari (wafat 1235 M / 632 H) dari Persia, Iran. Salah satu ciri ajaran Syathariyah ialah pengagungan terhadap Ahlul Bait (keturunan Rasulullah) terutama Ali bin Abi Thalib, meskipun sesungguhnya tidak berkaitan dengan doktrin Syiah. Bisa dimaklumi jika kemudian muncul salah paham dikalangan kaum muslimin di Sumatera Barat yang menuduh Syaikh Burhanuddin sebagai penyebar ajaran Syi’ah. Gejala dan indikator yang disandarkan kepadanya adalah mengakarnya tradisi Tabuik, suatu upacara untuk memperingati kesyahidan Husain, putra Ali, di Medan Karbala, di tanah Minangkabau. Meski begitu belakangan tarekat ini berkembang pesat, terutama setelah Syaikh Yusuf al-Makasari, ulama dan sufi besar asal Makasar tampil pula sebagai Mursyidnya.

Buya Tanpa Madrasah
Sebenarnya di Minangkabau, Burhanuddin dimasukkan ke dalam golongan Buya (ulama besar) tanpa Madrasah, karena ia tidak punya sekolah, hanya mengajarkan agama dari surau ke surau, dari majlis taklim yang satu ke majlis taklim yang lain, tapi pengaruhnya sangat kuat dan memberikan warna tersendiri dalam perkembangan agama Islam, khususnya di Padang Pariaman.

Berbeda misalnya dengan ulama tradisional sesudahnya, seperti Syekh Ibrahim Musa Parabek, Syaikh Abbas Kadi Ladang Laweh, atau Syaikh Sulaiman Ar-Rasuli yang semuanya mempunyai Madrasah dan berpengaruh luas di Minangkabau. Burhanuddin lebih menekankan taklim tanpa ruang belajar khusus. Suraunya di kenal dengan surau Syatariyah, karena dia mengajarkan tarekat Syatariyah.

Tak lama kemudian surau ulakan termasyhur sebagai satu-satunya pusat keilmuan di Minangkabau. Surau ulakan menarik banyak murid dari seluruh wilayah Minangkabau. Mereka mengambil keahlian dalam berbagai cabang disiplin ilmu agama Islam, dan pada gilirannya mereka mendirikan surau mereka sendiri ketika kembali ke desanya masing-masing.

Melalui surau ulakan yang terkenal itu, dia semakin mantap sebagai ulama Minangkabau yang paling penting menjelang akhir abad ke 17. Hampir semua ulama Minangkabau dari generasi selanjutnya belajar dan berguru kepada Burhanuddin.

Meski melakukan praktik-praktik seperti itu yang sempat di tuduh sebagai penyebar ajaran Syi’ah, tulisan-tulisan Syatariyah, seperti ditulis AS-Sinkili (guru Burhanuddin, terutama dalam hal tasawuf), dan ajaran-ajaran Burhanuddin sendiri, berulang kali menekankan perlunya para pengikut tasawuf untuk sepenuhnya menjalankan ajaran-ajaran syariat. Karena itu praktek-praktek tarekat di Ulakan, terutama pada tingkat awam, sulit di kontrol dan cendrung berlebih-lebihan, sehingga pada gilirannya mengundang kecaman di kalangan para mantan murid surau Ulakan sendiri

Pada tahun-tahun terakhir abad ke 18, tanda-tanda yang lebih jelas dari pembaharuan keagamaan muncul di kalangan masyarakat Minangkabau. Misalnya diantara surau-surau Syatariyah ada usaha-usaha sadar untuk menghidupkan kembali ajaran-ajaran As-Sinkili, terutama menyangkut pentingnya syariat dalam praktek tasawuf.

Lebih jauh lagi dikatakan Jalaluddin, orang Minangkabau yang hidup pada masa itu. Dia ikut ambil bagian dalam gelombang pembaharuan di Minangkabau yang di motori secara terus menerus oleh para ulama yang berdatangan dari Mekah dan Madinah serta Aceh.

Jalauddin tidak menyebut nama-nama mereka, tetapi menyatakan bahwa beberapa ulama dari Haramain (Mekah dan Madinah) adalah ahli-ahli Mantiq (logika) dan Ma’ani (ilmu bahasa Arab), dua ilmu yang sangat penting untuk memahami syariat serta tasawuf. Sementara itu seorang ulama Aceh datang untuk mengajar ilmu-ilmu seperti hadis, tafsir dan Faraid (hukum waris).

Ulama yang memainkan peran penting dalam kebangkitan pembaharuan di Minangkabau pada masa ini adalah Tuanku Nan Tuo, guru ulama Jalaluddin. Tuanku Nan Tuo dari Ampek Angkek adalah murid Tuanku Mansiangan Nan Tuo, yang pernah berguru menjadi murid Burhanuddin.

Tuanku Nan Tuo juga diriwayatkan belajar di surau Ulakan dengan murid-murid Burhanuddin yang lain. Di kemudian hari dia juga mendirikan surau sendiri di Cangking, Ampek Angkek, dan meraih kemasyhuran sebagai ulama syariat dan tasawuf, karena keahliannya dalam kedua aspek Islam ini. Tuanku Nan Tuo mendapat julukan Sultan Alim Awliya Allah (Sultan Alim Wali Allah), dan menjadi pemimpin seluruh ulama Minangkabau yang termasuk golongan Ahlusunah Waljamaah.

Bertumpu pada surau inilah kekuatan taklim Burhanuddin dan murid-muridnya serta pengikutnya di Minangkabau. Terlepas dari kontroversinya, nama Burhanuddin tidak akan pernah hilang dari ingatan masyarakat Minangkabau.

Kaum ibu dan pengajar di surau-surau Minang menjadikannya sebagai tokoh teladan, sehingga dalam acara senggang, riwayat hidupnya yang ditulis dalam huruf Arab Melayu sering dilantunkan dengan alunan khas nyanyian Minang. Khususnya untuk menudurkan anak mereka.

Tak Pernah Sepi
Banyak murid asal Minangkabau yang pernah nyantri kepada kedua orang Mursyid tersebut, yang belakangan tumbuh menjadi ulama besar, misalnya, Syekh Ismail Abdullah, Syaikh Ahmad Khatib bin Abdul Latif, Syaikh Sulaiman Ar-Rasuli, Syaikh Jamil Jaho, Syekh Jalaluddin, Syekh Jambil Jambek, dan sebagainya. Syaikh Burhanuddin wafat pada 10 Shafar 1111 H, jenazahnya di makamkan di Ulakan, dan hingga kini tak pernah sepi dari peziarah, lebih-lebih di bulan Shafar, puluhan ribu Peziarah datang merayakan Basafa.

Syaikh Burhanuddin mewariskan tradisi ini sebagai upaya untuk selalu berdzikir kepada AllahSWT. Tradisi serupa juga dilakukan di Kalimantan Barat. Tradisi yang disebut Upu Daeng Menambon itu lazim dilakukan di Sebukit Raya di hulu sungai Mempawah. Sementara di Tanjung Katung, Singapura, tradisi Shafar dilakukan dengan mandi di sungai. Karena tanggal 10 Shafar tidak selalu jatuh pada hari Rabu, upacara Basafa atau Upu Daeng Menambon dilakukan serempak pada hari Rabu setelah tanggal 10 Shafar. Ketika itulah jalanan antara Pariaman dan Ulakan penuh dengan iring-iringan para peziarah yang panjangnya tidak kurang dari 10 kilometer. Baca Juga : Ahmad-ibnu-harb-annaisyaburi-sufi

Menurut Syaikh Muhammad bin Islamil Daud al-Fathani (dari Patani, Muangthai Selatan), tradisi tersebut untuk menolak bala bencana. Dalam kitab Al-Bahyadul Mardhiyah, yang diperkuat dalam kitabnya yang lain, Al-Jawahir, Syaikh Muhammad menulis, pada setiap tahun selalu turun 320.000 bala atau bencana pada hari Rabu terakhir bulan Shafar.

Itulah Syaikh Burhanuddin Ulakan, tokoh dan ulama besar yang semula sama sekali tidak paham seluk beluk islam, namun kemudian tumbuh menjadi seorang sufi, berkat doa gurunya. Kepatuhannya kepada gurunya Syaikh Abdurrauf as-Sinkili merupakan spirit yang menjiwai pengabdian dan kesungguhannya dalam berdakwah.

Related Posts



Bagaimana Reaksi Anda Tentang Artikel Ini?

Comments

  1. SUFI SEJATI
    Ciri-ciri SUFI SEJATI:

    Mereka mematuhi ajaran Al-Quran dan mematuhi amalan dan peraturan yang dicontohkan dari perilaku dan kata-kata Nabi Muhammad Saw. Mereka mengikuti panduan tersebut dalam perkataan, dalam bertindak, dalam pemikiran dan dalam perasaan mereka. Mereka mengikuti maksud di dalam hati atau intisari yang tersirat dan yang terpendam dalam ajaran Islam.

    Mereka sangat paham dan tidak mengikuti begitu saja ajaran-ajaran Islam. Mereka mematuhi ajaran Islam sepenuhnya, menghayati dan menikmati manisnya ajaran dan prinsip agama. Mereka melakukan ibadah bukan kerana paksaan, tetapi mereka merasa nikmat melakukannya. Inilah jalan mistik (keruhanian) yang mereka patuhi.

    Mereka adalah kaum pencinta Allah yang sebenarnya.

    Ada sebahagian dari mereka yang dijanjikan dengan syurga tanpa dihisab terlebih dahulu di hari Pengadilan. Ada sebahagian merasakan sedikit azab di Hari Pembalasan, kemudian dimasukkan ke syurga. Ada pula yang terpaksa merasakan azab neraka untuk sekian lama guna membersihkan dosa-dosa mereka sebelum dimasukkan ke syurga. Tetapi tidak ada yang berada selama-lamanya dalam neraka itu. Yang kekal dalam neraka ialah orang-orang kafir dan orang-orang munafik.

    Pendapat Ahli Sunnah Wal-jamaah

    Para pemimpin dan guru-guru Sufi dari golongan Ahli Sunnah Wal-Jamaah berpendapat bahawa para sahabat, dengan berkat ajaran dan kehadiran Nabi, adalah dalam keadaan zauq keruhanian yang tinggi martabatnya. Setelah zaman berlalu, keadaan keruhanian yang tulen ini makin lama makin kurang dan tipis. Kemudian keadaan keruhanian ini diwarisi oleh guru-guru mursyid yang kemudian, pecah menjadi banyak firqah dan cabang.

    Oleh kerana terlalu banyak firqah dan golongan kaum mursyid itu, hikmah dan tenaganya pun makin tipis dan makin berpecah-belah. Dalam banyak hal, yang tinggal hanya bentuk zahir saja yang berlagak seperti guru Sufi, padahal batinnya dan hakikatnya bukan Sufi. Lama kelamaan timbullah Sufi-Sufi palsu dan bidah.

    Ada yang menganut golongan Haydari dan berpura-pura menjadi perwira dan pahlawan. Ada pula yang menamakan diri mereka kaum Adhami dan berpura-pura mengikuti jejak langkah Ibrahim Adham, yaitu seorang Sufi besar yang meninggalkan istana dan pangkat sultan kerana hendak mengamalkan ilmu Sufi. Bahkan, masih banyak lagi ajaran sesat dari guru Sufi palsu yang timbul.

    ReplyDelete
  2. KENALI SIFAT-SIFAT MEREKA

    Dalam zaman ini, ahli-ahli Sufi yang sebenarnya, yang bersesuaian dengan syariat, makin lama makin berkurangan jumlah mereka.

    Ahli Sufi yang hakiki dapat dikenali dengan dua cara:

    Pertama, zahir mereka, yaitu mereka mengamalkan syariat.

    Kedua, batin mereka, yaitu boleh dijadikan contoh teladan kerana mereka mewarisi keruhanian Nabi saw Sebenarnya contoh manusia yang paling baik ialah Nabi Besar Muhammad Saw Dialah sebenar-benar Sufi yang hakiki. Syariat dan Hakikat hendaklah bersama seiring jalan untuk kesinambungan agama dalam kehidupan mukmin dan mukminah sejati.

    Seorang Waliyullah yang mewarisi keruhanian Nabi akan memberi berkat kepada Si Salik dengan kehadiran fisiknya. Sesungguhnya Iblis tidak dapat menyerupai Nabi saw. Awas, wahai Salik, orang buta tidak boleh menunjukkan jalan pada si buta yang lain. Pandangan kita hendaklah tajam supaya kita dapat membedakan kebaikan dengan kejahatan, walau sebesar zarrah pun.

    Ingatlah, bahawa perjalanan Sufi itu bukan medan permainan. Bila suka boleh ikut, bila malas boleh ditinggalkan. la adalah jalan menuju ke Hadhirat Ketuhanan, yang kepadanya tidak semudah diucapkan lisan. walaupun begitu, wajarlah ia menjadi tujuan setiap insan. Yang ingin mencari ketenangan diri dan makrifat hakikat penciptaan Tuhan. Bukankah kita disuruh menyembah-Nya menurut bunyi sebuah firman? Bagaimana boleh menyembah kalau belum sempat untuk berkenalan?

    KISAH:

    “Tuanku, engkau boleh berjalan di atas air!” murid-muridnya berkata dengan penuh kekaguman kepada Bayazid Al-Busthami. “Itu bukan apa-apa. Sepotong kayu juga boleh,” Bayazid menjawab. “Tapi engkau juga terbang di angkasa.” “Demikian juga burung-burung itu,” tunjuk Bayazid ke langit. “Engkau juga mampu bepergian ke Kabah dalam semalam.” “Setiap pengelana yang kuat pun akan mampu pergi dari India ke Demavand dalam waktu satu malam,” jawab Bayazid. “Kalau begitu, apa kehebatan seorang lelaki sejati?” murid-muridnya ingin tahu. “Lelaki sejati,” jawab Bayazid, “Adalah mereka yang mampu melekatkan hatinya tidak kepada sesuatu pun selain Tuhan.”

    ReplyDelete

Post a Comment

BERIKAN KOMENTAR ANDA SEUAI TOPI DALAM RANGKA MEMBERIKAN MASUKAN KELEBIHAN DAN KEKURANGAN ARTIKEL ATAU KONTEN BERIKUT INI : ???

Kirim E-mail Anda Dapatkan Artikel Berlangganan Gratis....

ENTER YOUR EMAIL ADDRESS :

DELIVERED BY : SUARA MANIA POST ||| 🔔siulanmania@gmail.com

👍 POPULER POST

CARA UNTUK BERSYUKUR ATAS NIKMAT YANG DIKARUNIAKAN ALLAH SWT

HARI KESEHATAN MENTAL SEDUNIA, INI TEMA TAHUN INI DAN SEJARAHNYA

TAK LAGI MAYORITAS

NERAKA MENURUT SYAIKH SITI JENAR

MAN CITY VS NORWICH, AGREGAT 14 -1 TEGASKAN REKOR MENTERENG THE CITIZENS

🚀LINK TAUTAN ARTIKEL SPONSOR

FOLLOWERS